Thursday, December 4, 2008

Memiliki Kehilangan

Bulan puasa tahun ini kayaknya merupakan 'waktu yang paling berkesan' selama aku di dunia.

Tadinya aku malah berpikir bahwa ini mungkin adalah saat-saat paling sulit di dalam hidup dan kehidupanku.

Bagaimana tidak, tiga 'tiang utama' yang selama ini aku jadikan 'penopang': keluarga, pekerjaan dan cinta, semuanya runtuh pada saat yang bersamaan.
Tidak jadi sintingpun sudah untung, pikirku ketika itu.

Sempet rada-rada linglung sih, lumayan selama beberapa hari bangun-bangun mataku yang indah ini udah kaya ikan mas koki...
Pun asal ingat, pasti hati langsung dag-dig-dug karena kecemasan plus ketakutan yang amat sangat. Apalagi kalo udah datang penyakit 'this should not be happening', 'mengapa ini terjadi padaku' ato 'teganya dia melakukan ini...' fiuuhhh... jantung rasanya mau copot dan dunia rasanya mau kiamat...

Saking 'dahsyatnya', sampe-sampe aku harus berusaha menyepi, menenangkan diri.
Pada saat itu, sangat sulit untuk bisa 'melihat indahnya langit biru' ketika kitanya sendiri sedang merintih di bawah reruntuhan.

Tapi setelah dipikir-pikir, berabe juga kalo terus-terusan tiduran sambil merintih di bawah reruntuhan... bisa-bisa saru sama kuntilanak, kan?

Makanya aku memutuskan untuk merangkak dan mencari jalan keluar. Lumayan kesandung-sandung, kadungsang-dungsang, sih... tapi keep going aja lah...

Untungnya, deep down inside aku selalu yakin Dia pasti ada... Habis, memang selalu begitu sih... (walaupun seringnya aku suka ngga ngeh…)
Dan karena lumayan susah koneknya, maka berkelana-lah diriku... ho-ho-ho...

Penginnya sih datang ke tempat-tempat tenang nan eksotis supaya bisa lebih khusyu merenungnya... ke dataran tinggi Kashmir atau Tibet, misalnya... ato bisa juga di keheningan Mount Everest. Yah.. setidaknya puncak Jayawijaya, lah... siapa tahu bisa menggoncang khayangan dan mendatangkan bidadara Richard Gere ato pemeran suami di iklan Pond's Age Miracle versi Menara Eiffel... khu khu khu... :P

Tapi apa dilacur, saudara-saudara... karena satu dan lain hal... penyepianku-pun akhirnya terjadi di suatu tempat di Sukabumi. Tepatnya di Selabintana dan PH alias Pondok Halimun (I know... sedikit garing, tapi lumayan lah, daripada ngga sama sekali).

Dari rumah kakakku yang punya usaha piscok Cakra (hayo, hayo... datang dan beli ke sana), aku pergi diantar sama Hasan, salah satu karyawan setianya Aa. Di tas yang aku bawa, terselip salah satu terjemahan Al Quran, juga print-an mengenai ‘Yang Maha’ yang aku copy dari website http://www.alislam.org/ . Biasanya sih lumayan ampuh buat menenangkan kegoncangan hati (walaupun dalam kesehariannya, aku jarang sekali buka the Holy book... nakal, ya?).

Tempat pertama: lapangan Selabintana.

Ditemani selembar tikar, akupun mulai tenggelam dalam bacaan...
Lalu, dipicu keheningan yang menghanyutkan, pelan-pelan, akupun mulai bisa ‘sadar’ akan sekelilingku...

Hmmm... banyak pohon pinus, padang rumput menghampar... Ada juga kicau burung. Di kejauhan kelihatan hamparan kebun teh.. damai.

Tapi ada satu yang kurang: gemericik air.

Maka berangkatlah aku ke tempat kedua: Pondok Halimun, thanks to jasa Pak Ojeg.

Setelah hiking di jalan berbatu beberapa saat lamanya, sampai juga aku ke sungai di sana...
Duh.. airnya jernih... dan dingiiinnn...
Memandang berkeliling... kelihatan pepohonan dengan dedaunan yang tertiup angin... gemericik jernih air melewati bebatuan... suara jangkrik dan kicau burung di kejauhan...
hmmm... damai.

Tapi lama-lama serem juga, sih... abis tempatnya lumayan gelap... sepi pula.
Kalau aku kesurupan kan bisa berabe...

Akhirnya beranjaklah aku dari sana.

Hasil dari perenungan itu adalah... aku sadar bahwa semua yang terjadi adalah actually a bless in disguise. Karena bukankah aku yang minta untuk selalu diberikan petunjuk jalan yang benar oleh-Nya?
Tok-tok-tok!... haloooooo... justru ini adalah jawabannya, bukan?

I’ve been holding on to the wrong pillars. Aku berpegang pada pegangan yang salah selama ini. Coz they’re immortal. Fana. Ngga akan abadi, dan rapuh pula...
Satu-satunya yang bisa jadi pegangan sejati ya... hanya Dia.

Tapi kok ya... walaupun sudah punya pemikiran seperti ini, kok ya aku masih merasa sakit waktu itu. Tanpa dikomando, asal ingat apa yang terjadi, mengalirlah butiran air dari kedua mataku.
Bukankah seharusnya, kalau sudah punya pemikiran seperti ini, kalau sudah melalui perenungan yang dalam, maka tidak ada lagi rasa sakit, atau kecewa, atau sebangsanya? Selayaknya Ksatria Baja Hitam atau pendekar-pendekar Goggle V yang bisa ‘BERUBAH!’ dalam sekejab... menjadi seperti orang-orang salih yang alim itu..
Kok hatiku belum bisa sepenuhnya damai, ya..? (dan jujur aja, masih bergajulan pula)

What’s wrong with me???

Untungnya, di perjalanan pulang balik ke Jakarta, di KRL, aku membaca lebih jauh mengenai Dia.
Di situ aku found out bahwa ternyata ngga apa-apa untuk merasa terluka... ngga papa untuk merasa lemah.. Karena aku adalah manusia.

Fhhhhhh.... leganya aku waktu itu...

Semuanya aku tuangkan di SMS lebaran yang aku kirim untuk teman-teman. Isinya kira-kira begini:
“In this journey towards God, it is alright to feel hurt and vulnerable. ‘Coz that what makes us ‘human’. Just always remember, that by the end of this road, lies a reward worth all the pain and sufferings: God himself’.

Jadi, waktu itu bayanganku adalah... duh.. jalannya bakal lama dan menyakitkan, nih... tapi ya jalanin aja, lah... abis mau gimana...

Namun Dia itu memang ok banget ya...
Di saat aku kira aku harus menjalani hidup ini dengan membawa segala kesakitan, penderitaan dan ketakutan, Dia justru memberi petunjuk bahwa ngga selamanya harus seperti itu.
Bahwa menuju-Nya memang akan jadi sebuah journey... dan kitapun besar sekali kemungkinannya untuk salah dan dosa (namanya juga manusia)... tapi guys, sebenernya ngga harus dengan sakit dan derita kok... (udah kayak judul lagu dangdut aja, ya...)

Satu hari, aku lagi nonton acaranya Oprah dan tertarik dengan pembahasan mengenai sebuah buku karya seorang pengarang: Eckhart Tolle. Judulnya adalah ‘A New Earth: Awakening to Your Life’s Purposes’. Dari acara itu aku juga tahu bahwa sang pengarang masih punya satu buku lagi: ‘The Power of Now’.

Dan amazingly, saudara-saudaraku yang tercinta... reading those books benar-benar bisa bantu.

Di situ kita disadarkan bahwa ‘apapun yang kita pikir kita miliki’, atau apapun yang kita lakukan, atau ‘bagaimanapun rupa luar kita’, itu semua bukanlah jati diri kita sebenarnya.
Jadi seandainya semuanya hilangpun, tidak akan membuat jati diri kita menjadi ‘lebih buruk’ atau 'kurang utuh'.

Merasa ‘lebih’ dari orang lain sama salahnya dengan merasa ‘kurang’.

Bahwasanya selama ini tanpa sadar kita sudah dikendalikan oleh ‘ego’ – sesuatu yang sebenarnya bukan jati diri kita, tapi seringkali justru kita menganggapnya demikian. ‘Thoughts’ atau pemikiran-pemikiran kita lah yang paling bertanggungjawab atas kesalahpahaman ini.

Di buku ini juga dijelaskan cara untuk ‘sadar’ dan ‘ngeh’ akan sejatinya diri kita sebenarnya.

Jadi kita ngga usah khawatir kalau punya kepala yang panjul, besar, pitakan dan ada user-userannya tiga biji. Kita juga ngga perlu merasa rendah diri meskipun punya perut ‘ndut (gua banget), jerawat sebesar permen Fox, ato kalo punya pantat gosong dan burik sekalipun... karena semua itu bukanlah sejatinya diri kita sebenarnya.

Pun jika punya rupa cantik kaya Winona Ryder atau wajah tampan selayak Hugh Jackman, kekayaan kaya dinasti Bakrie, ngga usah merasa ‘lebih’ juga... karena semua itupun bukan sejatinya kita...

Bahwa seringkali kita terjebak pada yang sudah terjadi pada masa lalu – dan terlalu terobsesi pada masa yang akan datang, sehingga seringnya ngga nyadar bahwa yang bener-bener ‘real’ dan ‘worth’ adalah justru saat ini.

'The past is passed, and tomorrow is not yet to come. Accepting what is... and celebrating the present'...

Sekarang, setelah lumayan bisa agak terbebas dari rasa-rasa yang ngga jelas, aku masih punya concern.
Karena orang-orang terkasih masih terluka. Berat menyaksikannya.

Makanya terbersit dalam benakku untuk nerjemahin buku ini, biar lebih banyak orang dapetin manfaatnya. Latihan buat aku juga, sih...
Secara bukunya masih baru, jadi mungkin baru ada keluaran Bahasa Inggrisnya di pasaran. Kesananya sih mungkin bakal diterjemahin ... tapi ngga tau berapa lama lagi.. ato berapa pula orang mesti bayar.

Nah, mungkin terjemahan ini bisa sedikit bantu. Lumayan kan gratisan.
Masih baru niat sih... Aku jg masih ragu: apa bisa...

Tapi kalau memang jadi, kayaknya aku mesti buat satu blog lagi khusus buat terjemahan buku ini.
Terjemahannya pun mungkin pake bahasa aku sendiri, juga komen-komen tambahan dari pemahaman dan pengalaman yang relevan.
Bakalan jauh dari bagus... secara kemampuan aku terbatas gini... Jadi harap maklum kalo nantinya banyak kesalahan ato tidak berkenan.

Duh, bisa ngga ya...

Doain ya, guys....

1 comment:

  1. Saudara-saudara!!!
    Kabar gembira...!
    Kemarin aku baru ke gramedia dan ternyata 'The Power of Now' udah ada terjemahannya dan ngga mahal-mahal amat.

    Mungkin yang 'A New Earth'-nya pun bakal keluar juga sebentar lagi (mudah-mudahan)...

    Jadi mungkin aku ngga perlu menterjemahkan secara langsung semuanya...
    Tapi tetep ada niatan ngebahas inti-intinya..

    Untuk itu, kayaknya belum perlu ada blog khusus, cukup dibahas di sini aja :)

    Salam,
    Ratu

    ReplyDelete